Cara Membersihkan Diri Dari Uang Haram

Cara Membersihkan Diri Dari Uang Haram

Membersihkan Harta dari yang Haram

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam, Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.

Kaedah dalam Harta Haram Karena Usaha (Pekerjaan)

Kaedah dalam memanfaatkan harta semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,

“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Contoh dari kaedah di atas:

Boleh menerima hadiah dari orang yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Boleh transaksi jual beli dengan orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)

Jika ada yang meninggal dunia dan penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 10)

Contoh-contoh di atas dibolehkan karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna,

Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.

HUKUM-HUKUM MEMBEBASKAN DIRI DARI HARTA HARAM SETELAH BERTAUBAT

Pertanyaan Saya telah membaca banyak fatwa seputar cara berlepas diri dari harta yang haram setelah bertaubat, namun masih belum jelas bagi saya mana yang benar dalam masalah ini, ada kalanya diwajibkan untuk mensedekahkan, ada juga yang mengharuskan untuk dikembalikan kepada pemiliknya, ada juga yang membolehkan untuk dimanfaatkan, maka apakah ada perbedaan antara harta yang haram dengan yang lainnya, manakah pendapat yang benar dalam masalah ini ?

Jawaban Alhamdulillah.

Harta yang haram itu mempunyai beberapa gambaran dan kondisi yang bermacam-macam. Bisa jadi ia haram karena dzatnya atau haram karena cara mendapatkannya. Harta yang haram karena cara mendapatkannya bisa jadi diterima karena sukarela dari pemiliknya atau tanpa dengan sukarela. Bisa jadi pelakunya sudah mengetahui akan keharamannya, atau tidak mengetahui atau karena takwilannya, dan setiap kondisi ada hukumnya tersendiri.

Pertama: Barang siapa yang mencari harta yang haram dzatnya atau apa saja yang dilarang oleh syari’at untuk diperjual belikan, dimanfaatkan atau digunakan, dengan cara apapun, maka tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya, dia pun tidak boleh mengambilnya, ia pun tidak boleh memanfaatkannya untuk jual beli, diberikan sebagai hadiah, dimanfaatkan atau yang lainnya.

Harta yang haram karena dzatnya, maksudnya adalah semua benda yang keharamannya berkaitan dengan dzatnya, seperti; khamr, berhala, babi, dan lain sebagainya.

Kedua: Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar tanpa izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; harta hasil curian, ghasab (mengambil tanpa izin), korupsi dari dana umum, atau yang didapat karena curang dan menipu, bunga riba yang dibayarkan oleh pemiliknya secara darurat dan terpaksa, uang suap yang dibayarkan oleh pelakunya dengan terpaksa untuk mendapatkan haknya, dan lain sebagainya. Harta seperti ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan ia tidak akan terbebas tanggung jawab kecuali dengan itu.

Jika dia telah terlanjur membelanjakan atau menggunakannya, maka akan tetap menjadi hutang bagi dirinya sampai ia mampu mengembalikannya kepada pemiliknya.

Ibnul Qayyim berkata: “Jika yang diterima telah diambil tanpa ridha dari pemiliknya, juga tidak terpenuhi penggantinya, maka harus dikembalikan kepadanya, jika kesulitan untuk mengembalikan, maka menjadi hutang yang diketahui oleh pemilik harta sebelumnya,  jika tidak bisa melunasinya, maka ia kembalikan kepada ahli warisnya, jika tidak mungkin maka ia sedekahkan sejumlah harta tersebut.

Jika pemilik hak memilih untuk mendapatkan pahala pada hari kiamat, maka itu menjadi haknya, jika ia tidak mau kecuali akan mengambil amal kebaikan orang yang mengambil haknya, maka ia sempurnakan sejumlah harta tersebut dan pahala sedekahnya menjadi pahala orang yang mensedekahkannya, sebagaimana yang telah ditetapkan dari para sahabat –radhiyallahu ‘anhum-“. [Zaad Al Ma’ad: 5/690]

Ketiga: Barang siapa yang mencari harta yang haram dengan cara transaksi yang haram, karena ia belum memahami keharaman transaksi ini, atau ia meyakini boleh karena ada fatwa yang terpercaya dari ulama, maka hal ini tidak ada konsekuensi apapun, syaratnya ia bersegera untuk berhenti melakukan transaksi haram tersebut kapan saja ia mengetahui keharamannya, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ   سورة البقرة/275

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”. [Al Baqarah/2: 275]

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun yang tidak ada keraguan di dalamnya menurut kami adalah: apa yang ia terima karena penafsiran atau karena ketidaktahuannya, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) tanpa ada keraguan, sebagaimana tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah dan ibrah yang ada”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsir min Al ‘Ulama’: 2/592)

Beliau pun berkata : “Harta yang didapat oleh seseorang dari bentuk transaksi yang masih ada perdebatan di kalangan umat, karena beda penafsiran dan diyakini bolehnya dengan ijtihad, atau karena taqlid, atau karena sama dengan beberapa ulama, atau karena sebagian mereka telah berfatwa demikian, dan lain sebagainya.

Semua harta yang mereka terima ini, tidak perlu mereka keluarkan, meskipun ternyata setelah itu mereka salah dalam transaksi tersebut dan terjadi kesalahan dalam fatwa…

Seorang muslim yang berbeda penafsiran tersebut dan meyakini bolehnya jual beli, sewa menyewa dan transaksi yang bersumber dari fatwa sebagian ulama, jika telah menerima keuntungan namun ternyata terbukti setelahnya bahwa pendapat yang benar adalah haram, maka harta yang sudah didapat tidak menjadi haram kerena telah mereka terima berdasarkan takwil/penafsiran tadi”. [Majmu’ Al Fatawa: 29/443]

Beliau juga berkata: “Barang siapa yang mengerjakan sesuatu sementara ia belum mengetahui akan keharamannya, lalu setelah itu ia mengetahuinya, maka tidak bisa diberikan sanksi, dan jika ia mengerjakan transaksi ribawi yang diyakini bahwa hukumnya boleh, ia pun telah menikmati keuntungannya, kemudian mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan berhenti, maka tetap menjadi miliknya apa yang telah lalu”. (Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Al Ulama: 2/578)

Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta’ disebutkan : “Kurun waktu selama anda bekerja di bank, kami berharap semoga Allah berkenan untuk mengampuni anda, harta yang sudah anda kumpulkan dan anda terima dari pekerjaan di bank pada masa lalu, anda tidak berdosa karenanya jika anda memang benar-benar belum tahu hukumnya”. (Fatawa Lajnah Daimah: 15/46)

Syeikh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Jika dia belum mengetahui bahwa hal ini haram, maka baginya semua apa yang telah didapat dan tidak ada dosa, atau karena dia mengikuti fatwa seorang ulama bahwa hal itu tidak haram maka tidak perlu mengeluarkan (harta) apapun, Allah –Ta’ala- telah berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. [Al Baqarah/2: 275]

(Al Liqa Asy Syahri: 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah)

Keempat : Barang siapa yang mencari harta haram sementara ia mengetahui keharamannya, ia menerimanya atas izin dan ridho dari pemiliknya, seperti; barang yang diterima karena akad yang rusak, gaji pekerjaan haram, keuntungan dari perdagangan haram, gaji melayani perbuatan haram, seperti; persaksian palsu, menuliskan administrasi riba, atau harta suap yang diambil agar yang membayarkannya mendapatkan bagian yang bukan menjadi haknya, atau harta yang ia dapatkan dari hasil judi, undian/lotre, perdukunan dan lain sebagainya.

Maka harta tersebut haram karena pekerjaannya, tidak wajib dikembalikan kepada pemiliknya, sesuai dengan pendapat yang lebih kuat dari kedua pendapat para ulama.

Ibnu Al Qayyim –rahimahullah- berkata:  “Jika uang yang diterima itu atas ridho pemiliknya, sebagai imbalan dari pekerjaan yang haram, seperti penukaran dengan khamr, babi, zina atau perbuatan keji lainnya. Maka dalam kasus seperti ini tidak wajib mengembalikan imbalan tersebut kepada yang membayarnya, karena ia bayarkan berdasarkan keinginannya sendiri, dan telah sesuai dengan pekerjaan haram yang dilakukan. Maka tidak boleh terkumpul padanya uang dan barangnya secara bersamaan, karena kalau demikian justru dianggap membantu perbuatan dosa dan permusuhan, dan memudahkan para pelaku kemaksiatan.

Apa yang diinginkan oleh pelaku zina dan perbuatan keji lainnya, jika ia ketahui sudah mendapatkan tujuannya dan meminta kembali uangnya, maka hal ini termasuk yang akan dijaga syari’at untuk melakukannya, dan tidak baik berpendapat demikian”. [Zaad Al Ma’ad: 5/691]

Menurut mayoritas ulama diwajibkan baginya untuk membebaskan diri dari harta haram tersebut dengan cara mensedekahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin dan untuk kemaslahatan umum lainnya, dan jika ia telah membelanjakannya untuk keperluannya maka tetap menjadi hutang dan beban bagi dirinya, ia tetap wajib untuk mensedekahkan setelah ia mampu membayarnya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata:  “Barang siapa yang telah mengambil uang dari barang yang diharamkan, atau jasa yang telah ia kerjakan, seperti; upah dari kuli panggul khamr, upah dari pembuat salib, upah dari pelaku keji, dan lain sebagainya, maka hendaknya ia mensedekahkannya dan bertaubat dari perbuatan tersebut, dan sedekah dari upah tersebut akan menjadi penebus perbuatan sebelumnya, upah tersebut tidak boleh dimanfaatkan, karena sebagai upah yang tercela dan juga tidak boleh dikembalikan kepada pemilik sebelumnya; karena ia sudah melakukan pekerjaan untuk mendapatkannya dan mensedekahkannya, sebagaimana pernyataan para ulama dalam masalah ini, sebagaimana juga pernyataan Imam Ahmad terkait dengan kurirnya khamr, para penganut madzhab Malik dan yang lainnya juga menyatakan sikap yang sama”. [Majmu’ Al Fatawa: 22/142]

Disebutkan di dalam Al Ikhtiyar lita’lil Al Mukhtar (3/61): “Kepemilikan harta yang tercela cara (membebaskan diri darinya) adalah dengan mensedekahkannya”.

Disebutkan di dalam Fatawa Lajnah Daimah (14/32): “Jika pada saat bekerja dengan pekerjaan haram ia mengetahui kaharamannya, maka tidak cukup hanya bertaubat akan tetapi diwajibkan untuk membebaskan diri darinya dengan menginfakkannya di jalan dan amal kebaikan”.

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: “Adapun jika ia telah mengetahui (keharamannya), maka ia membebaskan diri dari riba dengan mensedekahkannya, atau dengan membangun masjid, memperbaiki jalan atau yang serupa dengannya”. [Al Liqa Asy Syahri : 19/67 sesuai dengan Maktabah Syamilah]

Ibnu Qayyim –rahimahullah- telah memilih pendapat bahwa jika ia termasuk orang fakir, maka ia boleh mengambil dari uang tersebut sesuai dengan kebutuhannya, lalu berkata : “Cara membebaskan diri darinya dan bentuk kesempurnaan taubatnya dengan mensedekahkannya, jika ia masih membutuhkannya maka ia boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya dan mensedekahkan sisanya, maka inilah hukum dari semua penghasilan tercela karena buruknya penghasilan tersebut, baik berupa barang maupun jasa”. [Zaad Al Ma’ad:  5/691]

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- lebih cenderung kepada pendapat yang lain, bahwa ia boleh memanfaatkannya dan tidak wajib mensedekahkannya selama ia sudah bertaubat.

Maka beliau berkata: “Adapun jika dia sudah mengetahui keharamannya maka membutuhkan pembahasan, maka bisa jadi ia dikatakan barang siapa yang mendapatkan uang dari menjual khamr sementara ia tahu keharamannya, maka baginya bagian yang telah lalu”.

Demikian juga semua orang yang mendapatkan harta haram, lalu ia bertaubat, jika memang disetujui oleh yang membayarnya, diwajibkan seperti itu termasuk mahar dari perbuatan keji dan mahar perdukunan.

Masalah ini tidak termasuk jauh dari ushul syari’ah, karena syari’at telah membedakan antara mereka yang bertaubat dan mereka yang belum bertaubat sebagaimana di dalam firman-Nya:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”.[Al Baqarah/2: 275]

Allah juga berfirman:

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”. [Al Anfal/8: 38]

Dan yang menguatkan hal ini, bahwa harta tersebut tidak rusak tanpa perbedaan pendapat, akan tetapi bisa disedekahkan atau dikembalikan kepada pezina, atau peminum yang menjadi pecandu atau diberikan kepada si penerima yang bertaubat tersebut.

Jika diberikan kepada pezina atau peminum maka hal ini tidak terbayang ada orang yang berpendapat demikian, meskipun ada ahli fikih yang berpendapat demikian, karena pendapat ini pendapat yang rusak berlipat.

Adapun pendapat yang menyatakan untuk disedekahkan, maka ada beberapa macam:

Akan tetapi dikatakan, orang yang bertaubat ini lebih berhak kepada harta tersebut dari pada orang lain, tidak diragukan lagi jika orang yang bertaubat tersebut tergolong orang fakir, maka ia lebih berhak dari pada orang fakir lainnya. Untuk hal ini ada banyak fatwa yang telah disampaikan. Jika orang yang bertaubat tergolong fakir, maka boleh mengambil sesuai dengan kebutuhannya karena dia yang lebih berhak dari pada orang lain, dan hal itu akan membantu pertaubatannya, jika diminta untuk mengeluarkannya maka justru akan membahayakannya dan tidak bertaubat. Dan barang siapa yang mentadabburi ushul syari’at diketahui bahwa syari’at itu berlemah lembut kepada manusia dalam hal taubat dengan segala cara.

Demikian juga, tidak ada kerusakan dengan pemanfaatan tersebut, karena uang tersebut telah diambilnya dan sudah tidak ada kaitannya dengan pemilik sebelumnya, dzat uangnya tidak haram, hanya saja diharamkan karena membantu lancanya perbuatan haram, dan hal itu sudah diampuni dengan bertaubat, maka harta itu menjadi halal baginya karena kefakirannya tanpa diragukan lagi, dan jika pelaku tersebut termasuk orang kaya maka ada pendapat uang tersebut diambil darinya, dan dengannya akan mempermudah bertaubat bagi siapa saja yang bekerja seperti itu.

Allah –Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)”..[Al Baqarah/2: 275]

Dan Dia tidak berfirman:  “Bagi mereka yang telah masuk Islam, juga tidak mengatakan bagi mereka yang menjadi jelas keharaman perbuatan tersebut”.

Akan tetapi Dia berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”.

Larangan itu bagi mereka yang sudah tahu keharamannya akan lebih berat dari pada mereka yang belum tau keharamannya. Allah –Ta’ala- berfirman:

يَعِظُكُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. [An Nuur/24: 17]

[Tafsir Ayaat Asykalat ‘ala Katsirin min Ulama : 2/593-596]

Dan di dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah (7/285) : Abdullah bin Numair telah meriwayatkan kepada kami, dari Rabi’ bin Sa’d berkata: “Seseorang telah bertanya kepada Abu Ja’far tentang seseorang berkata: “Teman saya telah mendapatkan harta yang haram, lalu harta tersebut sudah bercampur dengan harta miliknya dan harta milik keluarganya. Kemudian ia baru menyadari apa yang telah ia lakukan, lalu ia berhaji dan berada di dekat Ka’bah ini, maka bagaimanakah menurut pendapat anda ?

Ia menjawab: “Pendapat saya, hendaknya ia bertaqwa kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi”.

Syeikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “Allah –Ta’ala- tidak menyuruh untuk mengembalikan harta yang sudah diterima dengan akad riba, setelah ia bertaubat. Akan tetapi Dia menyuruh untuk mengembalikan riba yang belum diterima; karena harta tersebut sudah diterima dengan suka rela dari pemiliknya, maka tidak sama dengan harta curian.

Dan karena yang demikian itu akan mempermudah dan memberi semangat untuk bertaubat dari apa yang tidak ada pendapat untuk menghentikan taubatnya dengan mengembalikan perbuatan sebelumnya meskipun sudah terlanjur banyak dan rumit”. [Al Fatawa As Sa’diyah: 303]

Saya bekerja di sebuah LSM, saya memiliki seorang sahabat - dia memiliki sebuah usaha warung makan yang tergolong sukses.

Beberapa kali kami bercerita mengenai usahanya - ternyata dia menyimpan perasaan bersalah yang terus menghantuinya karena 5 tahun lalu saat ia memulai usahanya ternyata modal yang ia gunakan berasal dari uang haram (mencuri dari beberapa tetangganya).

Assalamu Allaikum Wr.Wb

Melalui email ini dia menitipkan beberapa pertanyaan :

1. Bagaimana cara membersihkan harta yang ia miliki saat ini?

2. Kalau dia mengembalikan uang yang pernah ia curi tersebut apakah bisa membersihkan harta yang diperoleh dari keuntungan usahanya tersebut?

Demikian, mohon penjelasannya - terima kasih.

Wassalamu Allaikum Wr.Wb

Menyesali perbuatan dosa besar adalah hal yang baik dan positif. Allah akan mengampuni hambanyanya yang bertaubat dari dosa yang dilakukannya di masa lalu. Apa yang terjadi pada dia mirip dengan kasus yang terjadi pada penanya sebelumnya seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang

Singkatnya, dia menanggung 2 (dua) perbuatan dosa yaitu dosa pada sesama manusia (hak adami) karena mengambil harta tanpa hak dan dosa pada Allah karena melanggar larangan Allah. Namun demikian uang yang dia hasilkan dari hasil usahanya adalah halal.

Berikut jawaban untuk 2 pertanyaan anda:

1. Cara membersihkan hartanya adalah

(a) bayarkan kembali seluruh harta yang dicuri kepada yang berhak.

(b) taubat nasuha yaitu menyesali perbuatan masa lalu, taat ibadah, dan banyak bersedekah sunnah selain

. Karena perbuatan baik yang konsisten akan menghapus keburukan dan dosa masa lalu. Allah berfirman dalam QS Hud 11:114 إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ (Artinya: kebaikan akan menghapus keburukan)>

2. Untuk membersihkan hartanya ada 2 hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan harta yang dicuri. Kedua, membayar zakat secara teratur sesuai dengan aturan zakat yang berlaku. Lihat:

_____________________________________________________________

Assallammualaikum wr.wb.

Saya mau bertanya apakah hukumnya memakan kepiting, karna ada yang bilang halal dan ada yang mengatakan haram.

Ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan ulama ahli fiqih tentang hukum halal dan haramnya kepiting. Pendapat yang muktamad dalam madzhab Syafi'i menyatakan kepiting itu haram. Ini adalah pendapat Iman Nawawi dalam kitab Ar-Raudah. Pendapat ini didukung oleh Imam Romli dalam kitab An-Nihayah dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fatawa di mana dia mengatakan:

وإذا ثبت خبثه حرم بنص الآية, فالأولى لمن أراد أكله تقليد مالك وأحمد رضي الله عنهما, فإنهما يريان حل جميع ميتات البحر ـ أي جميع ما في البحر وإن كان يعيش في البر ـ كما نقله في المجموع عنهما

Artinya: Apabila sudah disepakati kalau kepiting itu buruk (khubts), maka haram memakannya berdasarkan nash Al-Quran (yakni ayat: يحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث). Bagi yang ingin memakan kepiting, maka sebaiknya dia mengikuti pendapat Imam Malik (madzhab Maliki) dan Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali) karena mereka berdua menyatakan halalnya seluruh binatang laut walaupun dapat hidup di darat seperti dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk.

Imam Nawawi dalam Al-Majmuk juga menyatakan pendapat lain dari ulama madzhab Syafi'i bahwa seluruh binatang laut itu halal kecuali kodok.

Kesimpulan: Ada perbedaan ulama dalam soal halal haramnya kepiting. Mayoritas madzhab Syafi'i menganggap haram, sebagian menyatakan halal. Sedangkan madzhab Maliki dan Hanbali menganggap halal. Bagi madzhab Hanafi, semua binatang laut itu haram kecuali ikan.

Jadi, kalau anda suka kepiting, ikuti saja pendapat madzhab Maliki dan Hanbali seperti yang disarankan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami di atas.

Oh ya, di Indonesia madzhab Hanbali adalah madzhab fiqih yang banyak diikuti oleh

_____________________________________________________________

Assalamu 'alaikum War. Wab.

Saya pernah mendengar seorang guru membacakan sebuah Hadits Nabi SAW yang artinya begini : " Setiap perkara yang memiliki kebaikan yang tidak dimulai dengan ucapan Bismillahi Al- Rahmani Al Rahim (Basmalah) maka terputus (barokahnya). Berkaitan dengan hal ini saya menjadi bertanya tanya dalam hati ketika saya teringat waktu mendengar sang Khotib Sholat Jum'at ketika membacakan khotbahnya tidak didengar memulai dengan ucapan Basmalah. Pertanyaan dalam hati ini saya simpan samapai pada hari jum'at berikutnya saya pindah sholat Jum'at di Masjid yang lain,.Kemudian saya perhatikan sang khotib demikian juga adanya . Menurut pemikiran saya ,bahwa bacaan khotbah itu sendiri memiliki nilai kebaikan . Mengapa tidak di dahului dengan bacaan Basmalah .

Sehubungan dengan ini saya ingin bertanya :

1. Bagaimanakah hukum membaca Basmalah diawal khotbah sholat jum'at.

2. Bagaimana hubungannya dengan Hadits diatas Bacaan khotbah yang tidak didahului dengan ucapan Basmalah .

Mohon penjelasan dari Ustadz.

Wassalamu 'alaikum War. Wab.

1. Ibadah Jum'at pada dasarnya adalah ibadah. Dan ibadah dalam Islam harus mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad dalam membaca khutbah tidak pernah memulai dengan ucapan bismilah. Dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Jabir bin Abdillah meriwayatkan khutbah Nabi sebagai berikut:

كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبيِّ-صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ- يَوْمَ الْجُمُعَةِ: يَحْمَدُ اللَّهَ، وَيُثْنِي عَلَيْه،ِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذَلِك،َ وَقَدْ عَلَا صَوْتُهُ، ثُمَّ سَاقَ الْحَدِيثَ بِمِثْلِهِ

Artinya: Khutbah Nabi pada hari Jumat adalah mengucapkan hamdalah, memuji Allah, lalu setelah itu mengucapkan khutbahnya dengan suara keras...

2. Hadits anjuran membaca basmalah itu bersifat umum. Jadi, ada beberapa pengecualian yang ditentukan oleh syariah berdasarkan landasan Quran dan hadits termasuk dalam hal ini bacaan khutbah.

_____________________________________________________________

Assalamualaikum wr.wb

Ustad batasan orang murtad itu bagaimana? Karena dalam hati saya selalu ada bisikan bisikan untuk meremehkan dosa padahal saya tidak ingin meremehkan dosa tersebut dan mengatakan bahwa dosa perbuatan saya termasuk murtad. Kadang kadang karena begitu bingungnya sehingga dalam hati saya berkata "ah saya g butuh mau dosa apa tidak / ah murtad tidak apa apa" dan ketika dudah berkata demikian saya merasa sangat menyesal sekali karena kuatir murtad. Dan saya telah selalu bersyahadat detelah yang demikian. Tapi saya belum dapat berhenti dari perbuatan dosa yang sama. Dosa yang saya lakukan yaitu berupa smsan dan pacaran.

1. Apakah status saya. Apakah masih di anggap islam?

2. Apakah melakukan dosa besar bisa menjadi murtad?

3. Apakah saya harus mutus pacar saya dan harus berhenti sms-an agar bisa menjadi islam lagi?

4.saya sebenernya bingung ini sebuah bisikan apa asli dari hati. Bila benar dari hati, apakah saya cukup bertaubat dari niat murtad tersebut. Atau harus bertaubat dari dosa tersebut yaitu berupa pacaran ? Agar saya menjadi islam.

Terimakasih mohon nama saya di samarkan. Wassalamualaikum wr.wb

1. Anda masih dianggap Islam selagi anda terus menyadari bahwa bisikan itu salah dan selalu istighfar (memohon ampun pada Allah) atas apa yang baru saja anda lakukan dan membaca syahadat.

2. Melakukan dosa besar tidak membuat murtad kecuali kalau menganggap itu bukan dosa.

3. Berkomunikasi dengan lawan jenis melalui SMS tidak apa-apa selagi kata-kata yang ditulis tidak melanggar syariah dan/atau menimbulkan syahwat. Lihat

4. Cukup bertaubat dari meremehkan pada dosa. Namun, apabila adanya perempuan itu dianggap dapat merusak keislaman anda, maka memutuskan hubungan dengannya itu lebih baik. Selain itu dianjurkan untuk berteman dan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki wawasan dan perilaku agama yang baik akan membuat pemikiran dan perilaku yang kondusif untuk perbaikan kualitas keislaman anda. Sebagai langkah pertama, bertemanlah dengan imam masjid dan orang-orang yang sering berjamaah ke masjid.

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim membuat menyatakan

وَاعْلَمْ أَنَّ مَذْهَب أَهْل الْحَقّ: أَنَّهُ لَا يَكْفُرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة بِذَنْبٍ وَلَا يَكْفُرُ أَهْلُ الْأَهْوَاءِ وَالْبِدَع، وَأَنَّ مَنْ جَحَدَ مَا يُعْلَمُ مِنْ دِينِ الْإِسْلَام ضَرُورَةً حُكِمَ بِرِدَّتِهِ وَكُفْرِهِ إِلَّا أَنْ يَكُون قَرِيب عَهْد بِالْإِسْلَامِ أَوْ نَشَأَ بِبَادِيَةٍ بَعِيدَةٍ وَنَحْوه مِمَّنْ يَخْفَى عَلَيْهِ فَيُعَرَّفُ ذَلِكَ ؛ فَإِنْ اِسْتَمَرَّ حُكِمَ بِكُفْرِهِ ، وَكَذَا حُكْم مَنْ اِسْتَحَلَّ الزِّنَا أَوْ الْخَمْرَ أَوْ الْقَتْلَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ الْمُحَرَّمَات الَّتِي يُعْلَمُ تَحْرِيمُهَا ضَرُورَةً

Inti dari pernyataan Imam Nawawi di atas adalah: Apabila seorang muslim melakukan perbuatan dosa baik kecil atau besar maka hal itu tidak membuatnya murtad atau kafir kecuali apabila dia menganggap halal dosa-dosa besar yang sudah dimaklumi keharamannya seperti menghalalkan mencuri, zina, minum miras, dan lain-lain. Lihat:

__________________________________________________________

Assalamualaikum,WR.WB.

Nama saya dadang, sya bekerja di Instansi Swasta, dan sudah bekerja selama lebih 10 tahun. selama itu pula dalam hati saya merasa resah, dan tidak nyaman, karena bos saya adalah orang Nasrani. bos saya pernah jadi pendeta tapi sekarang sudah tidak kayaknya. Bagaimana hukumnya bekerja di tempat orang non Muslim ?. memang ditempat kerja tidak ada larangan solat atau perlakukan yg bertentangan dengan Islam. cuman sy pernah membaca artikel bahwa kita dilarang mengangkat seorang pimpinan selain dari orang muslim. terimakasih. mohon jawaban bisa di email ke saya.

Wasalamualaikum, WR.WB.

Menjalin hubungan bisnis dan pertemanan dengan nonmuslim itu tidak dilarang dalam Islam. Nabi Muhammad saat meninggal malah punya hutang pada orang Yahudi Madinah dengan menggadaikan baju perangnya sebagai jaminan membeli gandum berdasarkan sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah

اشترى النبي صلى الله عليه وسلم من يهودي شعيراً إلى أجل ٍ ورهنه درعه

Artinya: Nabi Muhammad membeli gandum dari orang Yahudi secara berjangka dan jaminannya adalah baju besinya.

Berdasar pada hadits ini ulama berpendapat atas bolehnya seorang muslim untuk bermuamalah (memiliki hubungan) secara bisnis, pertemanan, atau yang lain apabila muamalah tersebut dengan cara yang tidak melanggar syariah.

Jadi, hubungan anda dengan bos anda itu termasuk hubungan yang dibolehkan kecuali kalau bos anda sampai melarang anak buahnya untuk melakukan ibadah wajib seperti

Adapun larangan mengangkat seorang pimpinan selain dari orang muslim itu disebut dalam QS An-Nisa' 4:144

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الكافرين أولياء من دون المؤمنين

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

Juga disebut dalam QS Ali Imran 3:28

لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء إلا أن تتقوا منهم تقاة ويحذركم الله نفسه وإلى الله المصير

Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).

Lihat juga QS Al-Maidah 4:51

Menurut Ibnu Katsir (Kathir) larangan bermuamalah (berinteraksi) dengan orang nonmuslim itu apabila dipakai sebagai upaya persekongkolan atau tipu daya jahat untuk menghancurkan Islam. Dalam Tafsir Ibnu Kathir, Ibnu Katsir berkata:

نهى الله ، تبارك وتعالى ، عباده المؤمنين أن يوالوا الكافرين ، وأن يتخذوهم أولياء يسرون إليهم بالمودة من دون المؤمنين

kaitannya dengan pemimpin negara di sebuah negara yang mayoritas Islam.

__________________________________________________________

Pertanyaan, “Aku mendapatkan keuntungan yang haram. Uang keuntungan tersebut lantas kubelikan sebuah mobil. Mobil tersebut sekarang kurentalkan dan aku mendapatkan keuntungan darinya. Keuntungan yang kudapatkan dari rental mobil tersebut haram ataukah halal?”

Jawaban, “Orang yang mendapatkan pendapatan yang harta yang haram itu tidak lepas dari dua kemungkinan:

Pertama, didapatkan melalui transaksi yang haram semisal menjual barang yang haram diperdagangkan atau mendapatkan upah karena melakukan perbuatan yang haram semisal menyanyi atau memberikan persaksian palsu. Syarat taubat untuk orang yang mengalami kasus semacam ini adalah menyedekahkan semua uang tersebut dengan niat membebaskan diri dari uang yang haram bukan untuk mendapatkan pahala. Akan jika memang dia membutuhkan sebagian uang harta tersebut untuk investasi dalam bisnis yang halal untuk menopang kebutuhan kesehariannya maka mudah-mudahan itu tidak mengapa. Meski seandainya dia mampu untuk menyedekahkan semua harta haramnya maka itu yang lebih afdhol dan taubatnya bisa lebih sempurna.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika seorang itu mengadakan transaksi komersil yang haram dengan orang lain dan dia mendapatkan harta yang haram karenanya semisal harta yang didapatkan oleh pelacur, penyanyi, penjual khamr, saksi palsu dan semisalnya lantas orang tersebut bertaubat sedangkan harta yang haram itu masih ada di tangannya, apa yang harus dia lakukan dengan harta haram tersebut.

Sejumlah ulama mengatakan bahwa uang tersebut dikembalikan kepada pemilik awalnya. Alasan pendapat ini karena harta tersebut adalah harta yang haram dan dia tidak mendapatkannya dengan jalan yang diizinkan oleh syariah. Di samping pemilik awal harta tersebut tidaklah mendapatkan hal yang mubah sebagai kompensasi atas harta yang dia keluarkan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa bentuk taubat orang tersebut adalah dengan menyedekahkannya dan tidak boleh mengembalikannya kepada pemilik awal harta tersebut. Pendapat yang kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan itulah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada dalam masalah ini.” [Madarijus Salikin, 1/389].

Ibnul Qayyim berpanjang lebar menjelaskan permasalahan ini di Zaadul Maad 5/778. Di sana beliau menegaskan bahwa cara membebaskan diri dari harta yang haram dan bukti taubat orang yang memegang harta haram adalah dengan “menyedekahkannya. Jika dia membutuhkan harta haram tersebut dia bisa mengambil sesuai dengan kadar kebutuhannya sedangkan sisanya disedekahkan”.

Kedua, harta haram tersebut didapatkan dengan cara mencuri atau merampas milik orang lain. Jika demikian, orang yang memegang harta haram ini wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemilik sebenarnya meski kejadian tersebut telah berlangsung lama. Sedangkan mengenai apakah keuntungan yang didapatkan dari harta haram semacam ini perlu ikut dikembalikan ataukah tidak, para pakar fikih bersilang pendapat tentangnya.

Para ulama bermazhab Hanbali berpendapat bahwa keuntungan tersebut juga turut dikembalikan.

Malikiyyah dan Syafiiyyah berpandangan bahwa keuntungan itu menjadi hak orang tersebut karena jika barang curian atau rampasan itu rusak maka perampas atau pencuri wajib menggantinya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa keuntungan itu disedekahkan karena keuntungan ini didapatkan melalui cara yang tidak halal.

Ibnu Qudamah al Hanbali dalam al Mughni 5/159 mengatakan, “Jika seorang itu mengambil paksa uang milik orang lain lalu dia jadikan sebagai modal dagang atau mengambil paksa barang dagangan milik orang lain lalu dijual kemudian hasil penjualannya dijadikan sebagai modal bisnis, menurut para ulama mazhab Hanbali keuntungan bisnis tersebut adalah hak pemilik barang yang sebenarnya, demikian pula barang dagangan yang dibeli dari uang hasil merampas tersebut adalah hak pemilik yang sebenarnya. Syarif mengatakan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa keuntungan tersebut disedekahkan”.

Alkhatib as Syarbini asy Syafii mengatakan, “Jika perampas barang itu menjadikan barang hasil rampasannya sebagai modal bisnis maka keuntungan adalah milik itu milik perampas menurut pendapat yang paling kuat.” [Mughni al Muhtaj, 3/363]. Baca juga Mausuah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 22/84].

Sedangkan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini adalah perampas berhak mengambil hasil keuntungan bisnis sebesar prosentase yang selayaknya dan sepatutnya diterima oleh pelaku usaha ketika mengadakan kerja sama dagang dengan pemodal. Artinya hendaknya dia sikapi keuntungan bisnis tersebut sebagaimana layaknya bagi hasil yang diterima oleh pelaku usaha dalam transaksi mudharabah, boleh jadi setengah, sepertiga atau seperempat dari total keuntungan tergantung keumumannya di masyarakat setempat.

Syaikh Dr. Khalid Al-Musyaiqih mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ada seorang yang mencuri mobil milik orang lain. Mobil tersebut lantas dia pergunakan untuk bisnis angkutan. Dari bisnis ini si pencuri mendapatkan sejumlah keuntungan. Setelah dia ditangkap aparat keamanan, hak siapa kah keuntungan bisnis tersebut? Hak pencuri ataukah pemilik mobil?”

Jawaban beliau, “Status kepemilikan keuntungan bisnis semacam ini diperselisihkan oleh para ulama. Pendapat yang tepat adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berpendapat jika ada seorang yang mengambil paksa uang milik orang lain lantas uang tersebut dia jadikan sebagai modal bisnis maka dia berhak mendapatkan prosentase keuntungan yang umumnya diterima oleh pelaku usaha dalam transaksi mudharabah di masyarakatnya. Kita tanyakan kepada umumnya anggota masyarakat, bisnisman dan orang yang menguasai permasalahan ini jika jawabannya adalah dia berhak mendapatkan separo keuntungan maka diberikan kepadanya separo keuntungan. Jika jawabannya adalah dia berhak mendapatkan seperempat maka diberikan kepadanya seperempat keuntungan. Sedangkan sisanya adalah hak pemilik uang sebenarnya.

Sehingga pencuri yang membisniskan mobil curiannya berhak mendapatkan sebagian keuntungan sebagaimana umumnya hak pelaku usaha dalam transaksi mudharabah di masyarakatnya. Jika umumnya pelaku usaha dalam bisnis mobil umumnya mendapat bagian sebanyak separo atau seperempat dari total keuntungan maka itulah yang berhak dia ambil sedangkan sisanya diberikan kepada pemilik sesungguhnya.

Dalilnya adalah ketika ada anak Khalifah Umar bin al Khattab yang mengambil sebagian harta kas negara lalu Khalifah Umar meminta pendapat kepada para sahabat mengenai masalah ini maka diusulkan harta bisnis yang dilakukan oleh anak Khalifah Umar dengan harta kas negara tersebut distatuskan sebagai mudharabah [Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’ no 1396]”.

Referensi: http://islamqa.com/ar/ref/142235

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Kumpulan tanya jawab agama Islam (2) yang diajukan oleh pembaca alkhoirot.net.

Assalamualaikum Ustadz.,

ana mau bertanya Ustadz,tentang hukum halal haram.

Ana bergaul/ataupun menyewa tempat tinggal beramai-ramai alasan biar harga sewa murah.

tentu setiap kebiasaan pribadi berbeda-beda. Contoh teman Ana selalu suka membeli TOGEL/judi nombor slalunya tepat.

1. Ana tanyakan, Apakah hukum menerima makanan yg dibeli dng uang judi tersebut?

2. seandainya di tolak selalu mengatakan bahwa kita orang suci tak mau makan makanan hasil togel.

Salah satu cara untuk menjadi pribadi muslim yang lebih baik adalah memilih pergaulan yang kondusif yang dapat membawa kita pada standar etika dan moral yang lebih tinggi. Kecuali apabila kita memiliki pribadi dan komitmen keagamaan yang sangat kuat yang berniat untuk mempengaruhi lingkungan dan tidak kuatir dipengaruhi. Anda tampaknya termasuk golongan yang pertama yang sebaiknya mencari lingkungan pergaulan yang kondusif.

1. Hukum memakan makanan yang jelas berasal dari uang judi adalah haram. Dalam QS Al-Mukminun 23:51 Allah berfirman: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً

Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam menjelaskan ayat di atas, dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً، وإن الله تعالى أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين

Artinya: Allah itu baik dan tidak meneirma kecuali kebaikan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sama dengan apa yang diperintahkan pada para Rasul.

Dalam QS Al Baqarah 2:172 Allah berfirman: يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang memakan makanan haram maka doa dan ibadahnya tidak akan diterima.

Al Khirsi dalam Hasyiyah Al-Udwa menyatakan: ومن كان كل ماله من الحرام، فيحرم أخذ شيء منه، وكذا إذا عُلم أن طعامه اشتراه بعين الحرام

Artinya: Barangsiapa yang seluruh hartanya berasal dari harta haram maka haram pula mengambil sesuatu darinya. Begitu juga apabila diketahui bahwa makanan yang dibeli berasal dari uang haram.

Akan tetapi apabila uang atau harta yang dipakai untuk membeli makanan itu berasal dari uang campuran antara halal dan haram, maka hukumnya makruh memakan makanannya. Lebih detail lihat:

Pelaku dosa harus bertaubat dengan taubat nasuha. Baca detail:

2. Komitmen pada agama harus mengalahkan komitmen kepada teman. Bahkan pada orang tua sekalipun apabila mereka menyuruh berbuat yang buruk, maka perintah orang tua harus dilanggar.

____________________________________________________________

Ass. Ustadz saya mau tanya ,

apakah sah atau tidak apabila bernazar atau bersumpah di dalam hati tanpa diteguhkan atau diniatkan oleh hati sendiri dengan sebenar-benarnya , terimakasih

Nazar baru terjadi apabila diucapkan secara lisan. Apabila masih dalam hati maka nadzarnya tidak terjadi. Artinya, Anda tidak perlu memenuhi atau melaksanakan nadzar yang belum diucapkan dalam bentuk kata-kata. Lebih detail:

______________________________________________________________

Assalamualaikum wr.wb

Pak ustadz,,apakah dengan meminta maaf secara tulus dan ikhlas kepada orang yang bersangkutan, dosa kita kepada orang tersebut akan diampuni oleh Allah SWT,walaupun kita tidak mengungkapkan kesalahan kita satu persatu pada orang tersebut.

Wassalamualaikum wr.wb.

Haqqul adami (hak sesama manusia) ada dua kategori. Pertama, Hak yang terkait dengan harta benda yang dapat dilunasi atau dibayar seperti hutang, atau mencuri. Dalam kasus ini, maka hak-hak tersebut harus ditunaikan atau dipenuhi pada yang berhak.

Kedua, hak yang terkait dengan sesuatu yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti pernah ghibah (Jawa, ngerasani), pernah memfitnah, membohongi, pernah berkata buruk tentang dia, dll. Dalam kasus ini maka meminta maaf secara umum dengan tulus sudah cukup dan tidak perlu mengatakan kesalahan yang dilakukan secara detail. Ini adalah pendapat segolongan ulama yang mengatakan : وإن كان مما لا يستوفى كالغيبة والنميمة والكذب ونحو ذلك، فيكتفي بالدعاء له والاستغفار وذكره بخير

Artinya: Dosa/kesalahan yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti ghibah, memfitnah, berbohong terhadap seseorang, maka cukup dengan mendoakan, meminta maaf dan menyebut kebaikannya.

Namun pendapat jumhur ulama madzhab tetap mewajibkan menyebut kesalahan yang dilakukan selain meminta maaf sebagai syarat meminta maaf atas kesalahan pada manusia yang lain (hak adami) baik dapat dilunasi atau nonmateri. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi). Dasar hukum yang diambil adalah hadtis sahih riwayat Bukhari

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

Artinya: Barangsiapa mempunyai kesalahan pada saudaranya (sesama manusia) yang menyinggung harga diri atau harta maka hendaknya meminta maaaf (meminta dibebaskan). Apabila dia memiliki amal salih, maka amalnya akan diambil menurut kadar kesalahannya. Apabila dia tidak punya kebaikan, maka diambillah keburukan saudaranya itu menjadi tanggungannya.

Menurut hemat kami, meminta maaf secara umum adalah yang terbaik karena kalau disebutkan secara detail kesalahan yang dilakukan berpotensi akan semakin memperburuk suasana. Namun apabila dengan menyebutkan kesalahan itu secara detail tidak pihak yang dimintai maaf, maka itu akan lebih ideal.

_______________________________________________________________

Saya ZA saya mau tanya,seorang suami yg selalu merantau meninggalkan istri dan anak untuk mencari nafkah di luar negeri 1 thn sekali balik. Karena di jaman sekarang yg serba canggih ini org dapat berhubungan dg org lain melalui internet, jadi akhirnya sang suami banyak mempunyai kawan2 trutama perempuan, oleh karena sang istri mengetahui semua kejadian sang suami alami, akhirnya istri marah dan selalu mencaci maki padahal suami sudah minta maaf dan tidak lagi berbuat seperti dulu. tapi istri tetap saja tdk mau menerima kenyataan.

Yang saya tanyakan apakah seorang istri bisa masuk sorga tanpa ridonya sang suami.

Suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati oleh istri selagi kepemimpinannya tidak bertentangan dengan syariah. Namun seuami juga perlu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang memang layak dihormati.

Sikap istri Anda yang tidak mau memaafkan Anda itu dalam satu sisi justru positif karena itu artinya dia sangat mencintai Anda. Dan karena itu Anda sebaiknya menghadap seorang yang dapat dimintai nasehat dan meminta saran kepadanya agar istri Anda dapat memaafkan dan rumah tangga Anda dapat kembali normal.

Soal istri yang tidak bisa masuk surga, lihat artikel:

___________________________________________________________________

Assalamu'alaikum wr wb

Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan

& Rotib al haddad dibaca setiap jum'at ba'da maghrib...sehingga sy merasa menyatu dgn rotib al haddad tsb. hingga sy di tunjuk teman2 untuk memimpin pembacaan rotib.

terlepas dari itu semua background ke islaman saya adalah Muhammadiyah ...

__________________________________________________________

salam. saya mau tanya ! sya menderita penyakit was was akhir2 ini entah kenapa, rasa-rasanya merasa bersalah terus dengan Allah dan Raasulnya...padalah gara2nya cuman kebaca kalimat2 yg menghina Allah dan nabi,,pdhl hati mnyangkal mngatakan itu,namun trus aja menghantui saya dg kata2 yg kurang sopan,,

sya sdh brusaha menambah aktifitas keagamaan, namun masih ada terlintas bisikan itu hingga akhirnya tiap hari saya mnyesal, apakah saya termaasuk orang yg beerdosa bsar kpd Allah ,pdhl sya sangt ingin mhilangkannya wassalm

mohon di jawab ustadz

Kalau memang kata-kata penghinaan yang keluar itu tidak disengaja dan di luar kendali Anda, maka tidak apa-apa. Nabi bersabda dalam sebuah hadits: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل

Artinya: Ada 3 keadaan yang apabila melakukan kesalahan tidak dicatat: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai akil baligh, orang gila sampai sembuh.

Namun, begitu ingat Anda hendaknya segera mengucap istighfar kepada Allah.

Akan tetapi karena yang terjadi pada Anda itu semacam penyakit, maka idealnya Anda berkonsultasi ke psikiater atau psikolog untuk mendapat terapi. Di sampng rajin ibadah shalat yang 5 waktu plus

untuk meminta kesembuhan.

_________________________________________

assalamualaikum wr.wb

ustadz aaya pemuda berumur 19 tahun yang sering melakukan maksiat yaitu berupa menjalin hubungan dengan lawan jenis yang disebut pacaran. tp saya suatu ketika pernah mengingkari keharaman dari pacaran tersebut. dan saya tau apabila mengingkari hukum dapat menyebabkan murtad.

peryltanyaan saya. -> Topik ini sudah

______________________________________________________

Diantara perkara yang dapat melanggengkan hafalan yaitu meninggalkan kemaksiyatan, Yang saya tanyakan, bagaimana halnya dengan orang non muslim, apakah mereka juga lupa dengan ilmunya? Atau bagaimana? Mohon maaf bila ada kesalahan

Apa yang Anda katakan bahwa berbuat maksiat dapat menghilangkan atau mengurangi hafalan itu betul. Seperti kata sebuah syair yang konon dibuat oleh Imam Syafi'i [1] dalam syairnya

شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي أخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يُهدى لعاصي

Artinya: Aku melapor pada Waki' tentang buruknya hafalanku / Dia memberi petunjuk agar menjauhi maksiat.

Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya / Dan cahaya Allah tidak diberikan pada pelaku maksiat.

Hafalan itu berbeda dengan pemahaman. Hafalan membutuhkan konsentrasi dan fokus yang sangat tinggi sedang perbuatan maksiat akan dapat mengurangi fokus seseorang karena adanya perasaan dosa dan problema yang lain.

Namun demikian, kita semua tahu bahwa manusia memiliki daya ingat dan daya hafal yang berbeda sejak dia lahir baik dia kafir atau muslim. Orang kafir yang memang ditakdirkan memiliki daya hafal kuat tentu sedikit banyak akan terpengaruh dengan perilaku dosa yang dilakukan, tetapi kekuatan daya hafalnya yang tinggi akan membuatnya tetap mampu untuk melakukan hafalan dengan baik. Begitu juga, seorang muslim yang memiliki daya hafal lemah tetap akan sulit menghafal walaupun dia berusaha tidak melakukan maksiat karena memang IQ yang dimilikinya rendah.

Contoh, si A yang nonmuslim memiliki IQ 130, kalau dia melakukan dosa mungkin akan mengurangi daya hafalnya menjadi, katakalah, 129. Itu masih terhitung tinggi. Sementara si B yang muslim punya IQ di bawah 100. Bagaimanapun taatnya pada ajaran Islam, tetap saja dia tidak akan dapat mengejar daya hafal dan daya ingat yang dimiliki oleh si A yang nonmuslim.

__________________________________________________

Agar Ibadah dan Doa Diterima Allah SWT

1. bagaiamana cara agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT?

2. dan bagaimana agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT? ..

Didik (pertanyaan via Facebook.com/alkhoirot)

1. Khusyu' dalam melaksanakan ibadah. Dan ikhlas dalam mengamalkannya.

2. Ada dua unsur penting agar do'a dikabulkan Allah.

Pertama, berdo'a dengan sungguh-sungguh dan resapi makna yang diucapkan.

Kedua, wujudkan apa yang terucap dalam do'a dalam bentuk usaha yang serius dan kerja keras.

[1] Sebagian pendapat menyatakan bahwa syair tersebut dibuat oleh Ali bin Khashram. Bukan Imam Syafi'i. Karena Waki' bukan guru dari Imam Syafi'i.

_____________________________________________________

Doa setelah sholat taubat bisa dipanjatkan usai melakukan sholat tersebut. Sebelum pembahasan ke sana, mari simak dulu penjelasan mengenai sholat taubat.

sholat taubat bisa dilakukan setidaknya sekali seumur hidup. Sama seperti sholat sunnah lainnya, sholat taubat dikerjakan minimal dua rakaat.

Mengutip Buku Panduan Sholat Lengkap (Wajib & Sunnah) karya Saeful Hadi El Sutha, sholat taubah adalah sholat memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Sholat ini dilakukan untuk membersihkan diri atas segala dosa yang telah diperbuat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuannya agar hati menjadi tenang dan bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Ingin tahu bagaimana caranya? simak penjelasan di bawah ini.

Masih menurut buku di atas, sholat taubat bisa dilaksanakan kapan saja dan di mana saja di luar waktu yang diharamkan. Caranya sama seperti sholat pada umumnya, yang membedakan hanya niat dan doanya saja.

Berikut tata cara sholat taubat yang bisa dilaksanakan dua atau empat rakaat:

Doa Setelah Sholat Taubat

Setelah sholat selesai, bacalah istigfar kemudian doa setelah sholat taubat. Berikut bacaannya:

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْم الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

Arab latin: Astaghfirullaahal'adziim, alladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuumu wa atuubu ilaiih

Artinya: "Saya mohon kepada Allah Yang Maha Agung, Dzat yang tiada Tuhan melainkan hanya Dia Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri. Aku bertaubat kepada-Nya,"

Kemudian, dianjurkan juga membaca doa setelah sholat taubat yang berbunyi:

اللّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لآاِلهَ اِلَّااَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَناَ عَبْدُكَ وَأَناَ عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ من شَرِّمَاصَنَعْتَ. اَبُوْءُلَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَي وَأَبُوْءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ

Arab latin: Allaahumma anta rabbii laa ilaaha illaa anta khalaqtanii wa ana'abduka wa ana'alaa 'ahdika wa wa'dika mastatha'tu a'uudzubika min syarri maa shana'tu. abuu ulaka bini'matika 'alayya wa abuu u bidzanbi fahghfirlii fa innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta.

Artinya: "Wahai Tuhan, Engkau adalah Tuhanku, tiada yang patut disembah melainkan hanya Engkau, Engkaulah yang menjadikan aku dan aku adalah hamba-Mu, dan aku dalam ketentuan dan janji-Mu yang Engkau limpahkan kepadaku dan aku mengakui dosaku, karena itulah ampunilah aku, sebab tidak ada yang dapat memberi ampunan melainkan Engkau wahai Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan apa yang telah aku perbuat."

Demikian doa setelah sholat taubat yang bisa kamu panjatkan. Semoga dapat membantu detikers.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Nama Saya Lulu, asal saya dari Gorontalo... mungkin pemahaman saya tentang Islam masih sedikit, untuk itu saya ingin mengajukan banyak pertanyaan dalam forum ini tapi untuk saat ini saya ingin mengajukan bebrapa saja dulu :)

1. Apakah haram hukumnya membayar utang puasa di bulan sya'ban atau tinggal dekat waktu Ramadhan???

2. Apakah niat yg dibacakan utk membayar puasa???

3. Apakah menyikat Gigi saat puasa itu dapat membatalkan puasa???

4. Ini yg sering sya alami,,, kadang saat sholat saya sering tidak fokus... bagaimana caranya agar saya bisa khusyu dalam melaksanakan sholat?? apakah ada bacaan/doa tertentu sebelum sholat yg bsa dibaca agar sholat kita lebih khusyu??

5. Aku ingin sekali bsa sholat Tahajud, tapi saya paling jarang bangun tengah malam,,, jika saya menggunakan alarm utk bisa bangun dan sholat tengah malam apakah sholat saya itu sah???? dan setelah sholat tahajud saya ingin tidur lagi apakah itu diperbolehkan???

6. sholat tahajud pada pukul 4 subuh itu diperbolehkan apa tidak????

untuk saat ini pertanyaan ini yang ingin saya ajukan... atas waktunya untuk membalas email ini saya ucapkan banyak terima kasih..

moohon bimbingannya, agar saya bisa lebih mengerti akan larangan" dalam Islam

1. Tidak apa-apa. Boleh mengqadha puasa Ramadan di bulan Sya'ban.

2. Niat qadha puasa: Nawaitu showma ghadin li qadha-i shawmi Ramadan fardan lillahi taala (نويت صوم غد لقضاء صوم رمضان فرضا لله تعالي) Artinya: Saya niat puasa qadha Ramadan karena Allah Taala.

3. Tidak ada doa khusus agar khusyu shalat. Yang penting, anda harus konsentrasi ibadah saat hendak shalat dan lupakan hal lain. Lihat:

_____________________________

Assalammualaiku wr.wb

1. Saya ingin bertanya tentang hukum aqiqah, apabila dari kecil kita tidak di aqiqahin oleh orang tua karena tidak mampu dan sekarang saya ingin aqiqahin diri saya sendiri gimana bisa atau tidak ?

2. dan satu lagi apabila anak tersebut tidak melaksanakan aqiqah tetapi dia melaksankan qurban boleh tidak ?

1. Bisa. Tapi perlu diketahui bahwa aqiqah itu bersifat sunnah; tidak wajib.

_____________________________

Assalamualaikum ustadz. .

Ada yang saya ingin tanyakan lagi kepada pak ustadz mengenai ziarah kubur. Begini pak ustad, memjelang bulan ramadhan yang jg tinggal beberapa hari lagi kami sekeluarga biasanya berziarah ke makam keluarga, & seperti selayaknya umat muslim yg ada di indonesia, kami juga berdoa & menaburi kembang di kubur. Yang menjadi pertanyaan saya adalah;

1. Apa benar dalam berziarah kubur pada hari2 khusus seperti menjelang ramadhan tdk di benarkan dalam islam karena tidak ada dalilnya?? & apa hukumnya?

2. Apa benar menabur kembang & berdoa di kubur tidak di benarkan dalam islam & bahkan Rasulullah SAW sendiri, & apa hukumnya??

sekian pak ustadz, semoga pak ustadz berkenan menjawabnya. Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan. & Semoga pak ustadz Di Rahmati Oleh Allah SWT. Aamiin.

1. Ziarah kubur itu sunnah. Memang tidak ada keharusan harus ziarah pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu. Namun, tetap sunnah. Dalilnya lihat:

2. Menabur kembang itu juga sunnah sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah bahwa menabur bunga atau daun yang masih segar akan mengurangi siksa kubur. Berdasarkan hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim sbb:

عن ابن عباس قال : مر النبي صلى الله عليه و سلم على قبرين فقال : إنهما ليعذبان و ما يعذبان في كبير أما أحدهما فكان يمشي بالنميمة و أما الآخر فكان لا يستنزه من بوله فدعا بعسيب رطب فشقه باثنين ثم غرس على هذا واحدا و على هذا واحدا ثم قال : لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا

Artinya: Daripada Ibn Abbas, bahawa Nabi Muhammad SAW melalui dua kubur. Lalu Beliau bersabda: “Sesungguhnya kedua-duanya sedang di azab dan tidaklah kedua-duanya di azab kerana dosa besar. Adapun yang ini di azab kerana tidak menjaga (kebersihan) daripada kencing sedangkan yang lainnya karena suka mengadu domba.” Lalu Nabi SAW meminta pelepah dan mematahkannya (menjadi) dua bagian. Kemudian Beliau menancapkan di atas (kubur) ini satu dan di atas (kubur) ini satu. Kalangan sahabat Nabi bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini?” Beliau menjawab: “Mudah-mudahan diringankan azab itu daripada kedua-duanya selama pelepah kurma itu belum kering.

Para Ulama menngqiyaskan (menganalogikan) pelepah kurma dalam hadits di atas dengan segala macam tumbuh-tumbuhan yang masih basah sebagaimana yang di jelaskan oleh Syaikh Al-Khathib Asy-Syarbini dalam kitab Mughni Al-Muhtaj I/364 sbb:

ويسن أيضا وضع الجريد الأخضر على القبر وكذا الريحان ونحوه من الشيء الرطب ولا يجوز للغير أخذه من على القبر قبل يبسه لأن صاحبه لم يعرض عنه إلا عند يبسه لزوال نفعه الذي كان فيه وقت رطوبته وهو الاستغفار ( و ) أن يوضع ( عند رأسه حجر أو خشبة ) أو نحو ذلك لأنه صلى الله عليه وسلم وضع عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أتعلم بها قبر أخي لأدفن إليه من مات من أهلي رواه أبو داود وعن الماوردي استحباب ذلك عند رجليه أيضا

Artinya: Disunnahkan menaruh pelepah kurma hijau (basah) di atas kuburan, begitu juga tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan semacamnya yang masih basah dan tidak boleh bagi orang lain mengambilnya dari atas kuburan sebelum masa keringnya karena pemiliknya tidak akan berpaling darinya kecuali setelah kering sebab telah hilangnya fungsi penaruhan benda-benda tersebut dimana selagi benda tersebut masih basah maka akan terus memohonkan ampunan padanya

Dan hendaknya ditaruh batu, atau sepotong kayu atau yang semacamnya dekat kepala kuburan mayat karena Nabi Muhammad SAW meletakkan sebuah batu besar didekat kepala ‘Utsman Bin madz’un seraya berkata : “Aku tandai dengan batu kuburan saudaraku agar aku kuburkan siapa saja yang meninggal dari keluargaku” (HR. Abu Daud), menurut Imam Mawardi kesunahan meletakkan tanda tersebut juga berlaku di dekat kedua kaki mayat.

_____________________________

asalammualaikum ustadz.

saya seorang remaja ingin menanyakan tentang shalat subuh, karna saya tidak menghafal doa qunut.. pertanyaannya :

1. Apakah sah shalat subuh saya, jika tidak membaca doa qunut ?

1. Salat subuhnya sah; tapi dianjurkan menggantinya dengan sujud sahwi (sujud karena lupa). Dianjurkan agar anda belajar membaca doa qunut karena hukumnya temrasuk sunnah ab'ad. Lebih detail:

Perlu diketahui, bahwa sunnahnya qunut itu menurut madzhab Syafi'i. Sedang madzhab yang lain seperti madzhab Hanbali -- madzhab yang dianut

-- hukumnya tidak sunnah.

_____________________________

Ustadz,, sampai sekarang saya belum pernah mengqodho puasa wajib saya.. Saya selalu lalai pak ustadz.. Saya ingin mengqodho puasa saya, tapi sekarang saya sedang sakit tukak lambung (maag)..

Saya sudah coba kemarin puasa sunnah, karena saya merasa keadaan saya sudah membaik,, alhamdullah selama menjalankan puasa itu tidak ada sakit yang berlebihan,, tapi satu hari setelah puasa itu (sekarang) penyakit saya kambuh lagi..

Saya bingung pak ustadz,, saya ingin sekali mengqodho puasa wajib saya, tapi saya juga takut penyakit saya tambah parah... Apalagi sebentar lagi bulan ramadhan,, saya takut tidak bisa menjalankan puasa ramadhan dengan sempurna,, ditambah hutang puasa saya pun masih banyak..

1. Yang mau saya tanyakan, apakah ada keringanan bagi saya untuk mengqodho puasa saya?

2. Dan bagaimana hukumnya jika saya memaksakan berpuasa padahal saya sedang sakit?

terimakasih atas jawabannya..

1. Kalau memang secara medis qadha puasa tidak memungkinkan karena dapat membahayakan kesehatan, maka anda dapat menggantinya dengan membayar fidyah 1 mud setiap hari puasa yang ditinggalkan dan diberikan pada fakir miskin. 1 mud sama dengan 7 ons beras. Link Referensi: http://goo.gl/uqxfI (bahasa Arab)

2. Sah puasa orang yang sakit.

_____________________________

Assalamualaikum kepada para pengasuh, semoga selalu dalam lindungan Allah Subhanahuwata’ala.

Perkenalkan nama saya D, saya sudah menikah dgn istri saya V selama lebih dari 15 tahun. 6-7 bulan belakangan ini terdjadi perubahan sifat yang mendasar dari istri saya dan sekarang kami di ambang perceraian karena beliau menggugat cerai. Perubahan sifat tersebut terjadi sejak kehadiran pegawai baru di kantornya (supir) dan dari situ perangai istri saya perlahan lahan berubah.

Dari yang welas asih dan sangat penyabar, menjadi dingin dan cuek. Istri saya juga menjadi pemarah apabila saya larang bergaul dgn laki2 tersebut. Dan lebih memilh bercerai dari saya ketimbang harus tidak berhubungan dgn laki2 tersebut.

Dari beberapa teman kantornya yang teman saya juga , saya mendapat kabar bahwasanya mereka juga di musuhi / tidak bersahabat, padahal mereka adalah rekan kerja yg sudah bersama sama lebih dari 15 tahun.

Ada beberapa kawan yang mengatakan istri kena hipnotis dan/atau gendam, yang jika melihat saya dan/atau rekan kantor lainnya akan seperti melihat musuh besar, sedangkan jika melihat si laki2 tersebut (IA adalah nama supir tersebut) akan seperti melihat pangeran tampan yang bijaksana. Kemana-mana istri saya selalu di jemput dan antar oleh orang ini. Dan jika dilarang akan terjadi pertengkaran besar.

Saya sudah kehabisan akal pak pengasuh, karena saya tidak tahu lagi bagaimana cara menyelamatkan istri saya dari cengkeraman si Indra Tersebut. Karena saya stress dan tidak kuat menghadapi hal tersebut, maka saya memilih keluar dari rumah dan mendoakan, (tahajud dan wirid ) untuk kesadaran istri saya. Sudah 7 bulan berjalan saya belum melihat hasil nya..kadang saya bertanya Tanya…apakah Allah belum mengijinkan beliau sembuh atau bagaimana. Mohon nasehat dari para pengasuh pon pes al khoirot yang terhormat.

Saya merasa sangat kasihan ke istri saya yang sesat jalan, tidak patut seorang hajah berpeluk mesra dengan orang yang bukan muhrimnya. Saya ingin mengembalikan kesadaran beliau pak agar tidak berlarut larut dan terperosok ke jinah.

Trima kasih sebelumnya.

Kalau memang istri anda terkena ilmu sihir, maka dianjurkan anda menemui seorang ahli ilmu ghaib yang muslim dan salih. Ceritakan semuanya pada orang tersebut dan minta solusinya. Ilmu sihir harus ditangani secara khusus oleh orang yang memang ahli di bidang penanggulangan ilmu semacam itu.

_____________________________

Assalamualaikum wr.wb,

Pak ustadz, saya punya saudara yang dia bilang kalau suaminya itu bukanlah manusia seperti kebanyakan, maksudnya, didalam tubuhnya itu terdapat jin yang katanya kalau suaminya itu dibuat marah/ emosi maka jin didalam tubuhnya akan berontak/ mengamuk. Kalau dibacakan ayat kursi atau bacaan lainnya, jinnya bisa mengikuti. Dlm kehidupan sehari2, normal2 saja, ya seperti manusia pd umumnya. yang ingin saya tanyakan :

1. Apakah benar jin bisa hidup didalam tubuh manusia? Mengapa bisa begitu pak ustadz? Saya dengar, jinnya juga menyukai suami saudara saya ŷƍ kebetulan jg jarang sholat.

2. Apakah benar manusia bisa melihat sosok halus mahkluk lain? Ktnya, suaminya bisa melihat ϑàñ merasakan sosok lain itu.

3. Suaminya itu pernah bilang kalau nanti dia pny anak,anaknya akan mewarisi jin dlm tubuhnya itu (jika lelaki) atau akan mati (jika perempuan). Benarkah jin bisa masuk ke keturunan manusia?

4. Bagaimana cara mengeluarkan jin dlm tubuhnya?

Sebelumnya terimakasih byk atas jawabannya pak ustadz. Wasslm wr wb.

1. Bisa. Karena jin adalah makhluk halus yang hidup di alam ghaib sehingga dia bisa menyelusup ke dalam tubuh manusia.

2. Sebagian menusia dapat melihat sosok jin. Kemampuan itu bisa karena bawaan lahir atau karena mengamalkan doa-doa tertentu.

4. Hubungi ulama atau orang yang ahli dalam urusan jin.

_____________________________

BismillahiRahmaani rahiim

Assalamu'alaikum wr, wb.

Dewan Pengasuh (Pimpinan) dan Majelis Fatwa AL khoirot

Bersama ini menanyakan dua hal sebagai berikut :

1. pengertian Al Asma'ul Husna dengan dasar-dasarnya baik dari Qur'an dan Hadist hingga penyebutan hingga 99 dan urutannya.

2. Mohon dijelaskan kriteria penyebab sholat di jama' dan Qoshor dari a. Safar b. Hujan atau dari yang lain

Demikian dari jawabannya smoga menambal keilmuan dan memantapkan imam kami Jazakumullahi khoiron katsir...

Wassalamu 'alaikum wr, wb.

- Kata Asmaul Husna terdapat dalam QS Al-A'raf 7:180

- Urutan dan penyebutan 99 nama Allah terdapat dalam hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim yang dibahas secara detail oleh Ad-Dimashqi dalam Tafsir Ibnu Katsir III/515; di kitab ini dijelaskan bahwa Asmaul Husna tidak hanya terbatas pada 99 nama, tapi lebih. (ثم ليعلم أن الأسماء الحسنى ليست منحصرة في التسعة والتسعين بدليل ما رواه الإمام أحمد في مسنده)

2. Shalat qashar yaitu memperpendek shalat empat rakaat menjadi dua dan boleh dilakukan hanya bagi musafir yang perjalanannya mencapai jarak minimal 2 marhalah atau sekitar 88,656 km. Shalat Qashar (Link: http://goo.gl/QQRBts )

Sedang shalat Jamak yaitu mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu yaitu shalat dzuhur dan ashar atau maghrib dan isya'. Shalat Jamak dapat dilakukan karena musafir atau hujan atau sakit. Lebih detail: Shalat Jamak Ta'khir dan Taqdim (Link: http://goo.gl/BQb4dF )

_____________________________

Assalamu'alaikum warahmatullah

Alhamdulillah saya shalat insyaa Allah tepat waktu di mesjid secara berjama'ah. Dari shalat subuh hingga isya Alhamdulillah saya shalat berjamaah di mesjid, tapi ayah saya tidak pernah saya lihat shalat, kadang aku mengajaknya dengan sopan tapi ayah diam saja, pernah kejadian ketika hujan dan Adzan isya dikumandangkan saya bersiap dan pergi ke mesjid, tapi ayah melarangnya karena hujan deras, saya pun shalat sendirian di kamar, ketika masih hujan deras ayahku menyuruhku membeli sebungkus rokok, padahal ketika aku hendak ke mesjid aku dilarangnya, maka saya pun membelinya Alhamdulillah insyaa Allah dengan ikhlas, bagaimanakah sikap saya terhadap ayah saya ?

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatu

Kalau benar ayah anda tidak shalat, maka dia pelaku dosa besar itu kalau dia masih mengakui bahwa shalat itu wajib. Kalau dia meninggalkan shalat dan menganggap tidak wajib, maka hukumnya kufur/kafir. Anda beruntung memiliki kepribadian yang kuat sehingga tetap melaksanakan shalat berjamaah walaupun tanpa contoh yang baik dari keluarga. Dalam situasi seperti anda, maka hal yang perlu diperhatikan adalah:

(a) Tetap hormati ayah karena orang tua punya hak untuk dihormati walaupun pendosa;

(b) Cari jalan agar dia mau shalat baik dengan nasihat langsung atau melalui orang lain yang dihormati;

(c) Usahakan untuk mencari idola lain yang saleh, pekerja keras untuk menjadi tauladan anda.

_____________________________

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

saya selama ini dikasih uang oleh saudara, tetapi uang tersebut saya pakai untuk berjudi, sekarang setelah terkumpul banyak saya berniat memiliki penghasilan dari usaha yang halal (berwirausaha dibidang peternakan), tetapi saya hanya mempunyai modal dari hasil berjudi tersebut. yang ingin saya tanyakan yaitu:

1. bagaimana hukumnya berwirausaha dari uang hasil berjudi?

2. apakah hasil usaha tersebut disebut haram karena berasal dari judi?

Mohon pencerahannya ustadz....TERIMA KASIH

Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

2. Adapun hasilnya menurut madzhab Maliki dan Syafi'i adalah halal dan menjadi hak anda sedang menurut pendapat yang lain yakni madzhab Hanafi hukumnya sama haramnya. Perbedaan ini dianalogikan pada uang hasil curian yang dibuat modal usaha. Maka menurut pendapat pertama (yang menganggap halal) laba atau keuntungannya menjadi hak dari yang berusaha yakni si pencuri. Sedang menurut pendapat kedua menjadi hak dari pemilik asal. Sebagaimana diuraikan dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah XXIII/86 sbb:

الربح المختلف فيه، فمنه ما نتج عن التصرف فيما كان تحت يد الإنسان من مال غيره، سواء كانت يد أمانة كالمودع، أم يد ضمان كالغاصب وخلافه، وقد اختلف الفقهاء في هذه المسألة على أقوال: فالحنفية على أن الربح لا يطيب لمن تصرف في المغصوب أو الوديعة، هذا عند أبي حنيفة ومحمد خلافا لأبي يوسف.ووجه ذلك عند أبي يوسف أنه حصل التصرف في ضمانه وملكه.أما الضمان فظاهر ; لأن المغصوب دخل في ضمان الغاصب، وأما الملك ; فلأنه يملكه من وقت الغصب إذا ضمن، وعند أبي حنيفة ومحمد أن التصرف حصل في ملكه وضمانه، لكنه بسبب خبيث ; لأنه تصرف في ملك الغير بغير إذنه، وما هو كذلك فسبيله التصدق به، إذ الفرع يحصل على وصف الأصل، وأصله حديث الشاة حيث أمر النبي - صلى الله عليه وسلم - بالتصدق بلحمها على الأسرى. وأما عند المالكية والشافعية في الأظهر فالربح لمن تصرف في الوديعة وليس للمالك ; لأنها لو تلفت لضمنها، وقال الشربيني الخطيب: لو اتجر الغاصب في المال المغصوب فالربح له في الأظهر، فإذا غصب دراهم واشترى شيئا في ذمته ونقد الدراهم في ثمنه وربح رد مثل الدراهم ; لأنها مثلية إن تعذر عليه رد ما أخذه، وإلا وجب عليه رده بعينه، أما إذا اشترى بعينه فالجديد بطلانه. وعند الحنابلة: الربح لصاحب الوديعة أو مالك المغصوب.

Apabila mengikuti pendapat yang pertama, maka walaupun memakai uang judi sebagai modal usaha itu haram, akan tetapi anda boleh mengambil keuntungan yang didapat darinya karena labanya bersifat halal. Kalau demikian, maka apabila usaha anda berhasil, maka anda boleh memakan hasil keuntungannya sedang modal dari uang judi itu harus anda berikan pada fakir miskin atau untuk pembangunan yayasan pendidikan agar tidak ada harta haram dalam diri anda.

Namun demikian, anda diharuskan bertaubat karena dosa kepada Allah atas perjudian yang anda lakukan. Judi termasuk dalam